1.03.2010

abisin dong makanannya...


Ada seorang bapak di depan bak pencuci piring. Umurnya lebih dari setengah abad, tapi kerutan di wajah membuatnya terlihat 10 tahun lebih tua. Mungkin karena apa yang dilaluinya melampui kebanyakan orang-orang seumurannya.

Hanya sepintas lalu aku lewat, sangat terlihat hatinya berat menggeser sisa-sisa makanan dengan sendok sampai jatuh ke tong sampah di sebelah bak cuci. Di sebelahnya, setumpuk piring lainnya menanti dibereskan, beberapa masih dengan makanan porsi hampir utuh, hanya diambil beberapa suap saja.

Dari beberapa bulan berkenalan dan mengobrol dengan bapak itu, aku jadi memiliki imajinasi apa yang aku lihat. Seakan-akan hatinya berontak dan kata-kata menyerbu benaknya....

"...kalau saja saya bisa membungkus sisa-sisa makanan ini untuk keluarga saya"

"...kapan saya bisa mengajak keluarga makan seenak ini ya?"

"... ya ampun...cuma diacak-acak doang, ngga dimakan?!?!?"

"...kalau saja ngga ada aturan dari si bos, saya bawa nih buat si eneng.. dia suka banget cah jamur..."


Beberapa hari yang lalu ia cerita, istrinya sudah sebulan ini sakit tapi belum dibawa ke dokter karena tidak ada biaya. Sehari-hari keluarganya hanya makan dengan nasi dan lauk seadanya, terkadang hanya ikan asin, dan kecap. Itu pun hanya sekali sehari, karena upahnya sebagai pencuci piring di sebuah cafe ternama memang tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Aku tahu dengan pasti, untuk menghemat dan bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga dari gaji yang tidak memadai, setiap hari ia mengayuh sepeda tuanya ke tempat kerja, 30 kilometer pulang pergi. Terkadang, kalau badannya yang renta sudah tidak kuat lagi, ia mencari mesjid untuk bermalam.



Menghabiskan makanan. Kebiasaan ‘kecil’ yang berawal dari keluarga. Sebenarnya -bukan hanya karena mubazir saja- tidak menghabiskan makanan secara tidak langsung juga menyia-nyiakan energi dari proses pembuatan makanan itu hingga makanan tersebut duduk manis di piring kita menunggu disantap. Mulai dari pembibitan, hingga proses memasak. Kita bisa saja berpikir ‘Ah…itu kan ngga seberapa?’.

Mari kita berhitung, andaikan sisa makanan dari satu orang dikumpulkan dalam sehari sebanyak satu sendok makan, dalam seminggu porsinya bisa untuk makan satu orang. Bahkan mungkin porsi yang lebih dari porsi harian keluarga sang pencuci piring tadi. Berapa energi yang terbuang sia-sia? Sudah pasti lebih banyak dari yang kita bayangkan.

Ada sebuah restoran yang memampang tulisan "Makanan yang kita hidangkan adalah karunia Tuhan, mohon jangan disia-siakan." Buat aku, tulisan tersebut tidak perlu ada karena seharusnya sudah tertulis pada hati kita. Sudah seharusnya kita tahu kapasitas ‘perut’ kita, dan bisa memperkirakan apakah makanan itu habis atau tidak.

Lebih dari sekadar kebiasaan, menghabiskan makanan mengajarkan banyak nilai, menghargai makanan, tanggung jawab, tidak serakah, dan hidup dalam sebuah keprihatinan, mengingat banyak orang yang tidak makan bahkan sejak kemarin, kemarin dulu, atau beberapa hari yang lalu.

Jadi, sudah dihabiskan belum makanannya?

No comments: