2.24.2010

berhenti memaki.

Ketika hujan turun tidak seperti tetesan-tetesan menyejukkan, tapi seperti jutaan gayung yang tak pernah berhenti mengguyur. Kemudian mereka bersatu menghanyutkan siapa saja yang ditemui.
Kenapa manusia memaki?

Ketika matahari bersinar dengan terang, seperti jutaan lampu sorot yang siap memanggang. Kemudian mereka menjadikan tanah ini gersang.
Kenapa manusia memaki?

Bagaimana ketika langit memaki kita yang  menutup pori bumi dan tidak pernah peduli karena tanah berteriak kehabisan nafas, sehingga air-air itu hanya sepintas lalu lewat tanpa bisa meresap?

Bagaimana ketika langit mengadu karena perlahan-lahan terkikis, menjadi lubang-lubang yang mempersilakan sinar matahari berhamburan masuk?

Apakah kita mendengarnya?

Hentikan dulu makianmu,
sebelum kamu bisa mendengar apa yang dikatakan alam,
dan cukup mengerti apa yang telah kita perbuat.

2.08.2010

kurangi.

Hidup hijau pada dasarnya bukan mendaur ulang kembali barang-barang yang telah kita pergunakan. Ada yang lebih penting dan lebih mendasar dari daur ulang, yaitu mereduksi atau mengurangi. Mengurangi barang yang kita beli, mengurangi barang yang kita gunakan, dan pastinya juga harus mengurangi keinginan kita untuk memiliki barang. Sebisa mungkin kita tidak membeli atau menggunakan barang kalo ngga penting-penting amat. Waduh, kadang susah juga ya, apalagi kalo udah ada diskon, semua pasti pengen dibeli. Mumpung murah.. :p

Memiliki dan menyimpan hanya barang-barang kebutuhan dasar untuk jaman sekarang tentu berbeda dengan beberapa puluh tahun yang lalu. Kalau dulu hidup sederhana terbatas hanya dengan sandang pangan papan, sekarang tentunya sudah bertambah. Daftar kebutuhan primer semakin panjang. Barang-barang yang ada sekarang bukan hasil dari pemikiran 'perlu untuk diciptakan' lagi, tetapi 'diciptakan untuk dibutuhkan'. Diciptakan dulu, nanti ada bagian yang akan memikirkan bagaimana caranya supaya orang merasa membutuhkan.

Kemajuan teknologi yang katanya katanya membuat hidup lebih gampang, toh ternyata tidak juga. Jaman menuntut kita memiliki barang lebih banyak. Jaman juga membuat orang tidak mudah puas. Wah, ternyata hidup lebih mudah itu kompensasinya hidup lebih kompleks ya?

"Sudah hidup sederhanakah saya?"

Kalau mau mengurangi penggunaan barang, tentunya ada yang harus disederhanakan terlebih dahulu, hidup kita. Menyederhanakan keinginan kita. Tapi, hidup sederhana saat ini ternyata bukan hal yang sederhana. Lagipula, sederhana itu kan relatif. Tidak ada ukuran yang pasti. Sederhana untuk saya belum tentu sederhana juga untuk orang lain. Barang yang menurut saya tidak penting dimiliki, belum tentu juga tidak penting dimiliki orang lain.

Sederhana atau tidak hidup kita, hanya kita yang tahu karena yang tahu betul apa keperluan dasar kita adalah diri kita sendiri. Bisa ngga ya kita mengurangi keperluan sehari-hari? Pada dasarnya, semua manusia bisa hidup sederhana. Tetapi sekitar kita yang membuat kita merasa harus hidup 'tidak sederhana'.

Tampaknya saat belanja kita perlu mempertanyakan kembali daftar yang kita bawa. 'Betul ngga sih saya benar-benar perlu barang ini?' 'Bisa ngga ya saya hidup tanpa barang ini?' Terkadang pertanyaan itu manjur juga. Barang yang sudah saya pegang dan hampir masuk ke keranjang belanja, bisa kembali masuk ke raknya.

Sekali, dua kali, lama kelamaan menjadi kebiasaan. Usaha kita untuk hidup sederhana dan mengurangi ketergantungan kita atas benda pastinya akan membuat sampah yang kita hasilkan nantinya berkurang juga, ;p

Yuk, kurangi..

2.04.2010

popok dan kesehatan

[catatan Mbak Dan] Masih membahas mengenai penggunaan popok bayi, kali ini sahabat bumi Rika Winurdiastri dari rumah popok.com akan berbagi tentang penggunaan popok dan kaitannya dengan kesehatan. Semoga bermanfaat! :)

...

Yang menjadi pertimbangan utama bagi orangtua adalah menjaga agar kulit bayi tetap kering, sehat, bebas ruam popok. Banyak hal menjadi sebab ruam popok, misalnya basah yang terlalu lama, kurangnya sirkulasi udara, sabun, zat kimia, alergi zat warna, ammonia yang terbentuk karena interaksi bakteri pada pup bayi dengan urin.

Yang menjadi perhatian kesehatan terkait pospak (popok sekali pakai, red.) adalah pewarna sodium polyacrylate (gel penyerap), dan dioksin, yang merupakan produk sampingan kertas (tisu) yang diputihkan. Pada masa lalu, Sodium polyacrylate sering dikaitkan dengan sindrom toxic shock, reaksi alergi, dan juga berbahaya karena ternyata bersifat letal terhadap binatang. Beberapa jenis pewarna dan dioksin menurut EPA (Environmental Protection Agency) diketahui dapat merusak sistem saraf pusat, ginjal, dan hati. (FDA) Food & Drug Administration menerima laporan bahwa aroma pada pospak dapat menyebabkan sakit kepala dan ruam. Ada beberapa laporan konsumen (di Amerika) yang terkait pospak, misalnya bau insektisida, bayi yang merobek robek pospaknya dan memasukkan potongan plastic ke dalam mulut dan hidung, tersedak karena perekat dan pelapis. Perekat plastik juga dapat melukai kulit jika salah pakai.

Menurut Journal of Pediatrics, 54 % bayi berumur 1 tahun yang menggunakan pospak mengalami ruam, 16% mengalami ruam parah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah produsen pospak (nama tidak disebutkan, yang pasti salah satu produsen terbesar), menunjukkan bahwa insidensi ruam popok meningkat dari 7.1% menjadi 61% seiring dengan peningkatan penggunaan pospak.

Namun bagaimanapun juga, harap diingat bahwa setiap bayi berbeda. Bisa jadi ada orang tua yang menemukan bahwa tidak ada masalah dengan bayinya yang menggunakan pospak. Pengguna popok kain juga tidak semerta merta menjadi selamat. Popok kain bisa juga menyebabkan ruam apabila tidak sering diganti dan tidak dibersihkan/dicuci dengan baik setelah terkena fese.

Semuanya tergantung dari pilihan pribadi, reaksi bayi terhadap jenis pospak merek tertentu, dan bagaimana intuisi kita saat memilih popok kain atau pospak. Cara terbaik untuk mencegah ruam popok adalah mengganti popok, kain maupun pospak, secara rutin. Walaupun pospak mampu menahan urin dalam jumlah banyak, tetap saja kulit akan basah walaupun sedikit, yang dapat menyebabkan ruam. Adapun popok kain seharusnya diganti segera setelah popok basah, dan popok harus dibersihkan secara tuntas agar bakteri di popok mati.

popok dan lingkungan

[catatan Mbak Dan] Ketergantungan popok sekali pakai (disposable) semakin tinggi. Banyak alasannya, mulai dari alasan praktis hingga malas mencuci. Tapi tahukah bahwa popok sekali pakai ini ternyata meninggalkan jejak buruk pada lingkungan kita? Berhubung belum punya bayi dan punya teman baik yang senang berbagi mengenai penggunaan popok sekali pakai, dan nanti akan berbagi juga tentang detergen ramah lingkungan, saya bawa Rika Winurdiastri ke 'rumah sahabat bumi' untuk berbagi. Terima kasih banyak Rika.

...

Perdebatan tentang kontribusi lingkungan dari popok kain dan pospak memang ada. Kalangan pro pospak mengatakan bahwa menggunakan popok kain memiliki konsekuensi penggunaan air yang ekstra, penggunaan deterjen yang mencemari air tanah, dsb. Kalangan pro popok kain mengatakan penggunaan pospak berarti menambah limbah padat yang cukup signifikan terhadap TPA, dan kandungan tinja berbahaya apabila masuk ke dalam air tanah.

Menurut pendapat saya, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan deterjen dan air untuk mencuci popok kain, karena tanpa popok kain pun, kita sudah menggunakan air. Anggap saja popok itu adalah pakaian dalam bayi (karena toh bayi hanya menggunakan popok kan? Tidak pakai ‘pakaian dalam’), sama dengan orang dewasa yang sehari hari menggunakan pakaian dalam. Penggunaan air ekstra adalah konsekuensi alami dari manusia ‘ekstra’ yang datang ke bumi.

Tanpa kelahiran bayi pun, kita bisa jadi memang sudah menggunakan deterjen tidak ramah lingkungan. Jadi jika ada pencemaran deterjen di badan air dan air tanah, itu adalah kesalahan orang dewasa yang tidak mau mempertimbangkan deterjen yang ramah lingkungan. Selain itu, walaupun air semakin menipis, air adalah tetap sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Lagipula mari kita pikir, apakah volume air untuk mencuci popok sebegitu signifikan-nya? Adapun pospak? Tetap saja butuh waktu 500 tahun untuk menguraikannya.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Pup bayi (feses manusia), itu seharusnya masuk ke saluran khusus yang dibawa dari WC ke instalasi pengolah air buangan, tidak boleh masuk ke TPA. Apabila kita cermati kemasan pospak, maka di dalamnya ada instruksi untuk membuang pup bayi terlebih dahulu ke WC, sebelum membuang popok tersebut. Apakah para orangtua melakukannya? Saya tidak mau berprasangka buruk, tapi sejujurnya, saya tidak yakin, karena saya sendiripun cenderung malas repot apabila mengenakan bayi saya pospak. Dengan popok kain, mau tidak mau, kita harus membuang pup terlebih dahulu ke WC, sehingga kecenderungan untuk terjadi pencemaran tinja justru lebih dapat dikurangi.

Harap diingat bahwa setiap kegiatan manusia pasti menimbulkan dampak lingkungan. Apalagi selama kita menggunakan energi (listrik, bensin, dll), maka mau tidak mau kita berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Jejak ‘dosa’ kita terhadap alam ini yang disebut jejak ekologis. Selama ‘kerusakan’ yang kita buat masih dapat diimbangi dengan kemampuan alami lingkungan untuk memulihkan diri, maka itu masih wajar wajar saja. Mengenai kontribusi kerusakan lingkungan popok kain dan pospak, ada baiknya kita melihat dari sisi: mana yang lebih banyak jejak ekologisnya? Dan menurut beberapa sumber (sebagai contoh dari http://www.dummies.com/how-to/content/diapers-cloth-versus-disposable.seriesId-92323.htm l#glossary-carbon_footprint;_ecological_footprint), jejak ekologis pospak adalah 2 kali lipat dibanding popok kain.

Ok, mari kita mencari sebuah sumber yang lebih netral. Dari sumber http://www.thedailygreen.com, Dr. Alan Greene (chief medical officer of A.D.A.M., chair of The Organic Center, a member of the advisory board of Healthy Child Healthy World and clinical professor of pediatrics at Stanford University’s Packard Children’s Hospital) mengamati sebuah studi dilakukan oleh Badan Lingkungan di England dan Wales. Kelompok peneliti membandingkan pospak, popok kain yang dicuci di rumah, dan popok kain yang dicuci di tempat mencuci komersial dalam hal kontribusi terhadap pemanasan global, penipisan ozon, pembentukan SMOG, dan penipisan sumberdaya alam yang tidak bisa diperbarui, pencemaran air, asidifikasi, toksisitas, dan polusi tanah.

Studi ini tidak merekomendasikan pilihan apapun karena menurut para peneliti ini, semua menimbulkan dampak lingkungan. Walaupun menurut Dr. Alan Greene, seorang dokter anak, studi ini kurang lengkap karena di dalamnya. Mengapa? Studi tersebut tidak memperhatikan proses sangat awal dari produksinya, misalnya darimana asal pelapis plastik pospak, penebangan pohon, hingga penanaman kapas. Akan ada perbedaan yang besar antara kapas yang tumbuh dengan kontribusi zat kimia toksik dan kapas organik, antara hutan yang berkelanjutan dengan hutan yang asal dibabat.

Oke, kita anggap saja hasil penelitian badan lingkungan di Inggris akurat. Menurut badan lingkungan ini, yang penting adalah tindakan selanjutnya yang dapat mengurangi dampak popok. Misalnya bagi pemakai popok kain, mereka harus melakukan efisiensi energi dan hemat air (mudah bukan?). Jika memilih pospak, maka pilihlah produk dari produsen yang peduli lingkungan (green manufacture), yang biodegradable dan yang biasanya juga tidak mengandung klorin (lihat pembahasan mengenai popok dan kesehatan yang nanti akan saya posting, red). The big question is… apakah pospak yang umum dijual di Indonesia itu bebas klorin dan biodegradable (dapat terurai)?

Memang rasanya kurang adil jika mengeneralisir. Namun saya pernah melihat pospak impor dan mengklaim produknya ramah lingkungan, harganya.. hmmm.. kruk kruk kruk…[Rika Winurdiastri]

*dari rumahpopok.com