by adimas/rahmadina for koenjit magz
Banyak orang kini menganggap makan bukan lagi hanya urusan isi perut. Dimana dan apa yang dimakan menjadi sesuatu yang penting. Bagi kalangan tertentu, seperti ada kebanggaan tersendiri saat singgah ke sebuah resto atau kafe eksklusif untuk sekadar santap siang, misalnya, atau ketika menjadikan produk-produk impor sebagai makanan favoritnya. Inilah gaya hidup masyarakat modern, menurut mereka, yang bahkan mengedepankan gengsi seseorang ketimbang kelestarian lingkungan maupun perekonomian bangsanya sendiri.
Sementara makan telah terkait erat dengan persoalan gaya hidup, adakah terbayang oleh kita tentang asal dan bagaimana cara makanan itu sendiri sampai ke hadapan kita? Terpikirkah bahwa dengan menggandrungi makanan impor, kita turut mencairkan kutub utara dan menenggelamkan pulau-pulau di sekitarnya?
Food miles, kata yang cukup asing di telinga kita ini adalah sebuah konsep tentang efek yang ditimbulkan dari makanan yang kita makan, dilihat dari sejauh apa jarak pengangkutan yang diciptakan. Ada beragam akibat dari hal ini, mulai dari pemusnahan nilai-nilai budaya sampai peran dalam percepatan terjadinya global warming. Konsep ini dapat menjadi indikator untuk melihat berbagai dampak dari proses produksi hingga distribusi makanan.
Pengaruh lingkungan
Kontribusi apa yang diberikan food miles pada masalah lingkungan? Logika sederhana sebenarnya dapat menjawab pertanyaan ini. Ingatlah bahwa makin jauh sumber suatu makanan berasal, berarti makin banyak pula bahan bakar yang diperlukan untuk transportasi. Pengangkutan biasanya melibatkan truk-truk berbahan bakar solar yang menyumbang polusi udara lebih besar. Belum lagi jika jarak pengangkutan sudah dalam skala lintas negara atau lintas benua.
Salah satu contoh dapat kita lihat dari hasil penelitian di Inggris, yang menyebutkan bahwa warga di sana bisa menghabiskan sembilan milyar per tahunnya untuk keperluan bahan bakar dalam pengangkutan makanan, baik oleh industri maupun masyarakat biasa. Rata-rata masyarakat Inggris berkendaraan sekitar 898 mil dalam setahun untuk berpergian ke toko makanan. Pada tahun 2002, transportasi makanan di Inggris telah menghasilkan 19 juta ton karbondioksida, yang mana 10 juta diantaranya dihasilkan dari transportasi dalam negeri dan sisanya merupakan hasil dari lalu-lintas makanan impor.
Selain itu, jangan lupakan pula proses produksi, pengolahan serta pengawetan makanan yang juga dapat menyumbang gas-gas rumah kaca. Belum lagi banyaknya makanan terbuang dari persentase kegagalan yang timbul karena masalah pengemasan selama pengangkutan jarak jauh tersebut. Jika semua itu dijumlahkan, maka dari pengiriman makanan jarak jauh yang dilakukan oleh semua eksportir makanan di seluruh dunia dalam sehari akan kita peroleh besaran angka yang mengerikan, mewakili jumlah gas penyebab pemanasan global.
Masalah kesehatan
Jarak pengangkutan yang jauh juga akan mengurangi kesegaran dari makanan. Agar makanan bisa tahan lama, zat-zat kimia yang dapat mengawetkan pun digunakan. Secara tidak sadar, mengonsumsi makanan-makanan tersebut tak ubahnya dengan memasok bom waktu di perut kita. Belum lagi berkurangnya kandungan vitamin karena makanan yang diangkut dari jarak jauh tersebut tentu tidak lagi segar. Maka masih masuk akalkah jika kita mengira bahwa produk-produk makanan impor pasti lebih sehat hanya karena alasan kemahalan harganya? Siapa yang menjamin bahwa tingginya harga produk tersebut merupakan kompensasi dari kualitas bahan atau kehigienisannya, sementara sebagian besar biaya tersebut jelas terserap oleh kepentingan transportasi?
Masalah sosial dan runtuhnya perekonomian lokal
Tidak sedikit produk-produk penganan di sekitar yang tak kalah kualitasnya dengan produk-produk impor. Namun, para produsen lokal tersebut kini kalah bersaing industri-indusri berlabel koorporasi internasional yang bagai raksasa, dengan tangan besarnya dapat menggenggam bola dunia.
Sebut saja Sopian (40), seorang petani lokal yang dulu cukup sukses. Setiap hari ia bisa memasok ratusan kilogram wortel, kentang, dan tanaman-tanaman musiman segar lainnya ke beberapa hotel dan restoran di Bandung, tak ketinggalan pasar-pasar tradisional dan supermarket. Lewat usahanya yang dirintis sejak lulus kuliah ini, ia telah berhasil menggairahkan iklim pertanian di daerahnya. Namun, lain dulu lain sekarang. Sejak pasar Eropa masuk ke Indonesia, atau era yang katanya pemerataan (baca : globalisasi), permintaan pasar atas sayuran yang ia produksi menurun drastis. Walaupun sayuran yang ia produksi tak kalah kualitasnya dengan produk Eropa sana, Sopian harus tersisih karena modal dan kekuasaan yang kurang kuat.
Ketika menjual atau membeli bahan makanan, atau ketika adanya pelayanan langsung terhadap para konsumen, misalnya, merupakan interaksi penting dalam membentuk dan memelihara sebuah komunitas yang berkembang. Inisiatif untuk mengonsumsi makanan lokal jelas mendukung suatu masyarakat. Pembelian bahan makanan dari petani lokal akan mengakibatkan terjalinnya sebuah hubungan sosial dan juga menahan keuangan stabil pada komunitas lokal. Dengan demikian, komunitas para petani pun memiliki sebuah benteng pasar tersendiri.
Beralih ke makanan lokal
Banyaknya konsumsi terhadap produk-produk makanan non lokal merupakan akibat dari kurangnya informasi tentang konsep food miles. Secara tak sadar, masyarakat telah menjadi korban dari promosi iklan sangat gencar. Selain itu, besarnya keterlibatan para pemodal besar (baca: kapital) yang semakin memarjinalkan para pengusaha kecil telah menciptakan persaingan yang tidak sehat. Jelas berarti masalahnya bukan terletak pada kualitas makanan lokal yang lebih jelek.
Dengan pertimbangan tingginya konsentrasi gas rumah kaca yang dibuang kendaraan selama pengangkutan, dukungan terhadap makanan lokal menjadi salah satu solusi untuk mereduksi emisi gas rumah kaca tersebut. Konsep ini sendiri merupakan bagian dari isu yang lebih besar, yaitu keberlanjutan (sustainability), dimana berkaitan erat dengan berbagai isu. Konsumsi terhadap makanan lokal akan menciptakan suatu siklus yang menguntungkan baik bagi kesehatan, lingkungan, kehidupan sosial, maupun perekonomian lokal. (Heidyanne R. Kaeni)
*repost dari madjalah koenjit (alm.) :p
No comments:
Post a Comment