[catatan Mbak Dan] Masih membahas mengenai penggunaan popok bayi, kali ini sahabat bumi Rika Winurdiastri dari rumah popok.com akan berbagi tentang penggunaan popok dan kaitannya dengan kesehatan. Semoga bermanfaat! :)
...
Yang menjadi pertimbangan utama bagi orangtua adalah menjaga agar kulit bayi tetap kering, sehat, bebas ruam popok. Banyak hal menjadi sebab ruam popok, misalnya basah yang terlalu lama, kurangnya sirkulasi udara, sabun, zat kimia, alergi zat warna, ammonia yang terbentuk karena interaksi bakteri pada pup bayi dengan urin.
Yang menjadi perhatian kesehatan terkait pospak (popok sekali pakai, red.) adalah pewarna sodium polyacrylate (gel penyerap), dan dioksin, yang merupakan produk sampingan kertas (tisu) yang diputihkan. Pada masa lalu, Sodium polyacrylate sering dikaitkan dengan sindrom toxic shock, reaksi alergi, dan juga berbahaya karena ternyata bersifat letal terhadap binatang. Beberapa jenis pewarna dan dioksin menurut EPA (Environmental Protection Agency) diketahui dapat merusak sistem saraf pusat, ginjal, dan hati. (FDA) Food & Drug Administration menerima laporan bahwa aroma pada pospak dapat menyebabkan sakit kepala dan ruam. Ada beberapa laporan konsumen (di Amerika) yang terkait pospak, misalnya bau insektisida, bayi yang merobek robek pospaknya dan memasukkan potongan plastic ke dalam mulut dan hidung, tersedak karena perekat dan pelapis. Perekat plastik juga dapat melukai kulit jika salah pakai.
Menurut Journal of Pediatrics, 54 % bayi berumur 1 tahun yang menggunakan pospak mengalami ruam, 16% mengalami ruam parah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah produsen pospak (nama tidak disebutkan, yang pasti salah satu produsen terbesar), menunjukkan bahwa insidensi ruam popok meningkat dari 7.1% menjadi 61% seiring dengan peningkatan penggunaan pospak.
Namun bagaimanapun juga, harap diingat bahwa setiap bayi berbeda. Bisa jadi ada orang tua yang menemukan bahwa tidak ada masalah dengan bayinya yang menggunakan pospak. Pengguna popok kain juga tidak semerta merta menjadi selamat. Popok kain bisa juga menyebabkan ruam apabila tidak sering diganti dan tidak dibersihkan/dicuci dengan baik setelah terkena fese.
Semuanya tergantung dari pilihan pribadi, reaksi bayi terhadap jenis pospak merek tertentu, dan bagaimana intuisi kita saat memilih popok kain atau pospak. Cara terbaik untuk mencegah ruam popok adalah mengganti popok, kain maupun pospak, secara rutin. Walaupun pospak mampu menahan urin dalam jumlah banyak, tetap saja kulit akan basah walaupun sedikit, yang dapat menyebabkan ruam. Adapun popok kain seharusnya diganti segera setelah popok basah, dan popok harus dibersihkan secara tuntas agar bakteri di popok mati.
Showing posts with label rumah. Show all posts
Showing posts with label rumah. Show all posts
2.04.2010
popok dan lingkungan
[catatan Mbak Dan] Ketergantungan popok sekali pakai (disposable) semakin tinggi. Banyak alasannya, mulai dari alasan praktis hingga malas mencuci. Tapi tahukah bahwa popok sekali pakai ini ternyata meninggalkan jejak buruk pada lingkungan kita? Berhubung belum punya bayi dan punya teman baik yang senang berbagi mengenai penggunaan popok sekali pakai, dan nanti akan berbagi juga tentang detergen ramah lingkungan, saya bawa Rika Winurdiastri ke 'rumah sahabat bumi' untuk berbagi. Terima kasih banyak Rika.
...
Perdebatan tentang kontribusi lingkungan dari popok kain dan pospak memang ada. Kalangan pro pospak mengatakan bahwa menggunakan popok kain memiliki konsekuensi penggunaan air yang ekstra, penggunaan deterjen yang mencemari air tanah, dsb. Kalangan pro popok kain mengatakan penggunaan pospak berarti menambah limbah padat yang cukup signifikan terhadap TPA, dan kandungan tinja berbahaya apabila masuk ke dalam air tanah.
Menurut pendapat saya, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan deterjen dan air untuk mencuci popok kain, karena tanpa popok kain pun, kita sudah menggunakan air. Anggap saja popok itu adalah pakaian dalam bayi (karena toh bayi hanya menggunakan popok kan? Tidak pakai ‘pakaian dalam’), sama dengan orang dewasa yang sehari hari menggunakan pakaian dalam. Penggunaan air ekstra adalah konsekuensi alami dari manusia ‘ekstra’ yang datang ke bumi.
Tanpa kelahiran bayi pun, kita bisa jadi memang sudah menggunakan deterjen tidak ramah lingkungan. Jadi jika ada pencemaran deterjen di badan air dan air tanah, itu adalah kesalahan orang dewasa yang tidak mau mempertimbangkan deterjen yang ramah lingkungan. Selain itu, walaupun air semakin menipis, air adalah tetap sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Lagipula mari kita pikir, apakah volume air untuk mencuci popok sebegitu signifikan-nya? Adapun pospak? Tetap saja butuh waktu 500 tahun untuk menguraikannya.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Pup bayi (feses manusia), itu seharusnya masuk ke saluran khusus yang dibawa dari WC ke instalasi pengolah air buangan, tidak boleh masuk ke TPA. Apabila kita cermati kemasan pospak, maka di dalamnya ada instruksi untuk membuang pup bayi terlebih dahulu ke WC, sebelum membuang popok tersebut. Apakah para orangtua melakukannya? Saya tidak mau berprasangka buruk, tapi sejujurnya, saya tidak yakin, karena saya sendiripun cenderung malas repot apabila mengenakan bayi saya pospak. Dengan popok kain, mau tidak mau, kita harus membuang pup terlebih dahulu ke WC, sehingga kecenderungan untuk terjadi pencemaran tinja justru lebih dapat dikurangi.
Harap diingat bahwa setiap kegiatan manusia pasti menimbulkan dampak lingkungan. Apalagi selama kita menggunakan energi (listrik, bensin, dll), maka mau tidak mau kita berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Jejak ‘dosa’ kita terhadap alam ini yang disebut jejak ekologis. Selama ‘kerusakan’ yang kita buat masih dapat diimbangi dengan kemampuan alami lingkungan untuk memulihkan diri, maka itu masih wajar wajar saja. Mengenai kontribusi kerusakan lingkungan popok kain dan pospak, ada baiknya kita melihat dari sisi: mana yang lebih banyak jejak ekologisnya? Dan menurut beberapa sumber (sebagai contoh dari http://www.dummies.com/how-to/content/diapers-cloth-versus-disposable.seriesId-92323.htm l#glossary-carbon_footprint;_ecological_footprint), jejak ekologis pospak adalah 2 kali lipat dibanding popok kain.
Ok, mari kita mencari sebuah sumber yang lebih netral. Dari sumber http://www.thedailygreen.com, Dr. Alan Greene (chief medical officer of A.D.A.M., chair of The Organic Center, a member of the advisory board of Healthy Child Healthy World and clinical professor of pediatrics at Stanford University’s Packard Children’s Hospital) mengamati sebuah studi dilakukan oleh Badan Lingkungan di England dan Wales. Kelompok peneliti membandingkan pospak, popok kain yang dicuci di rumah, dan popok kain yang dicuci di tempat mencuci komersial dalam hal kontribusi terhadap pemanasan global, penipisan ozon, pembentukan SMOG, dan penipisan sumberdaya alam yang tidak bisa diperbarui, pencemaran air, asidifikasi, toksisitas, dan polusi tanah.
Studi ini tidak merekomendasikan pilihan apapun karena menurut para peneliti ini, semua menimbulkan dampak lingkungan. Walaupun menurut Dr. Alan Greene, seorang dokter anak, studi ini kurang lengkap karena di dalamnya. Mengapa? Studi tersebut tidak memperhatikan proses sangat awal dari produksinya, misalnya darimana asal pelapis plastik pospak, penebangan pohon, hingga penanaman kapas. Akan ada perbedaan yang besar antara kapas yang tumbuh dengan kontribusi zat kimia toksik dan kapas organik, antara hutan yang berkelanjutan dengan hutan yang asal dibabat.
Oke, kita anggap saja hasil penelitian badan lingkungan di Inggris akurat. Menurut badan lingkungan ini, yang penting adalah tindakan selanjutnya yang dapat mengurangi dampak popok. Misalnya bagi pemakai popok kain, mereka harus melakukan efisiensi energi dan hemat air (mudah bukan?). Jika memilih pospak, maka pilihlah produk dari produsen yang peduli lingkungan (green manufacture), yang biodegradable dan yang biasanya juga tidak mengandung klorin (lihat pembahasan mengenai popok dan kesehatan yang nanti akan saya posting, red). The big question is… apakah pospak yang umum dijual di Indonesia itu bebas klorin dan biodegradable (dapat terurai)?
Memang rasanya kurang adil jika mengeneralisir. Namun saya pernah melihat pospak impor dan mengklaim produknya ramah lingkungan, harganya.. hmmm.. kruk kruk kruk…[Rika Winurdiastri]
*dari rumahpopok.com
...
Perdebatan tentang kontribusi lingkungan dari popok kain dan pospak memang ada. Kalangan pro pospak mengatakan bahwa menggunakan popok kain memiliki konsekuensi penggunaan air yang ekstra, penggunaan deterjen yang mencemari air tanah, dsb. Kalangan pro popok kain mengatakan penggunaan pospak berarti menambah limbah padat yang cukup signifikan terhadap TPA, dan kandungan tinja berbahaya apabila masuk ke dalam air tanah.
Menurut pendapat saya, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan deterjen dan air untuk mencuci popok kain, karena tanpa popok kain pun, kita sudah menggunakan air. Anggap saja popok itu adalah pakaian dalam bayi (karena toh bayi hanya menggunakan popok kan? Tidak pakai ‘pakaian dalam’), sama dengan orang dewasa yang sehari hari menggunakan pakaian dalam. Penggunaan air ekstra adalah konsekuensi alami dari manusia ‘ekstra’ yang datang ke bumi.
Tanpa kelahiran bayi pun, kita bisa jadi memang sudah menggunakan deterjen tidak ramah lingkungan. Jadi jika ada pencemaran deterjen di badan air dan air tanah, itu adalah kesalahan orang dewasa yang tidak mau mempertimbangkan deterjen yang ramah lingkungan. Selain itu, walaupun air semakin menipis, air adalah tetap sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Lagipula mari kita pikir, apakah volume air untuk mencuci popok sebegitu signifikan-nya? Adapun pospak? Tetap saja butuh waktu 500 tahun untuk menguraikannya.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Pup bayi (feses manusia), itu seharusnya masuk ke saluran khusus yang dibawa dari WC ke instalasi pengolah air buangan, tidak boleh masuk ke TPA. Apabila kita cermati kemasan pospak, maka di dalamnya ada instruksi untuk membuang pup bayi terlebih dahulu ke WC, sebelum membuang popok tersebut. Apakah para orangtua melakukannya? Saya tidak mau berprasangka buruk, tapi sejujurnya, saya tidak yakin, karena saya sendiripun cenderung malas repot apabila mengenakan bayi saya pospak. Dengan popok kain, mau tidak mau, kita harus membuang pup terlebih dahulu ke WC, sehingga kecenderungan untuk terjadi pencemaran tinja justru lebih dapat dikurangi.
Harap diingat bahwa setiap kegiatan manusia pasti menimbulkan dampak lingkungan. Apalagi selama kita menggunakan energi (listrik, bensin, dll), maka mau tidak mau kita berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Jejak ‘dosa’ kita terhadap alam ini yang disebut jejak ekologis. Selama ‘kerusakan’ yang kita buat masih dapat diimbangi dengan kemampuan alami lingkungan untuk memulihkan diri, maka itu masih wajar wajar saja. Mengenai kontribusi kerusakan lingkungan popok kain dan pospak, ada baiknya kita melihat dari sisi: mana yang lebih banyak jejak ekologisnya? Dan menurut beberapa sumber (sebagai contoh dari http://www.dummies.com/how-to/content/diapers-cloth-versus-disposable.seriesId-92323.htm l#glossary-carbon_footprint;_ecological_footprint), jejak ekologis pospak adalah 2 kali lipat dibanding popok kain.
Ok, mari kita mencari sebuah sumber yang lebih netral. Dari sumber http://www.thedailygreen.com, Dr. Alan Greene (chief medical officer of A.D.A.M., chair of The Organic Center, a member of the advisory board of Healthy Child Healthy World and clinical professor of pediatrics at Stanford University’s Packard Children’s Hospital) mengamati sebuah studi dilakukan oleh Badan Lingkungan di England dan Wales. Kelompok peneliti membandingkan pospak, popok kain yang dicuci di rumah, dan popok kain yang dicuci di tempat mencuci komersial dalam hal kontribusi terhadap pemanasan global, penipisan ozon, pembentukan SMOG, dan penipisan sumberdaya alam yang tidak bisa diperbarui, pencemaran air, asidifikasi, toksisitas, dan polusi tanah.
Studi ini tidak merekomendasikan pilihan apapun karena menurut para peneliti ini, semua menimbulkan dampak lingkungan. Walaupun menurut Dr. Alan Greene, seorang dokter anak, studi ini kurang lengkap karena di dalamnya. Mengapa? Studi tersebut tidak memperhatikan proses sangat awal dari produksinya, misalnya darimana asal pelapis plastik pospak, penebangan pohon, hingga penanaman kapas. Akan ada perbedaan yang besar antara kapas yang tumbuh dengan kontribusi zat kimia toksik dan kapas organik, antara hutan yang berkelanjutan dengan hutan yang asal dibabat.
Oke, kita anggap saja hasil penelitian badan lingkungan di Inggris akurat. Menurut badan lingkungan ini, yang penting adalah tindakan selanjutnya yang dapat mengurangi dampak popok. Misalnya bagi pemakai popok kain, mereka harus melakukan efisiensi energi dan hemat air (mudah bukan?). Jika memilih pospak, maka pilihlah produk dari produsen yang peduli lingkungan (green manufacture), yang biodegradable dan yang biasanya juga tidak mengandung klorin (lihat pembahasan mengenai popok dan kesehatan yang nanti akan saya posting, red). The big question is… apakah pospak yang umum dijual di Indonesia itu bebas klorin dan biodegradable (dapat terurai)?
Memang rasanya kurang adil jika mengeneralisir. Namun saya pernah melihat pospak impor dan mengklaim produknya ramah lingkungan, harganya.. hmmm.. kruk kruk kruk…[Rika Winurdiastri]
*dari rumahpopok.com
1.20.2010
percuma?
"Kok sepertinya percuma aja ya kalau kita memisahkan sampah organik dan anorganik di rumah sendiri, ujung-ujungnya disatuin lagi sama tukang sampah."
"Percumakah?"
Sering banget aku mendengar 'keluhan' seperti tadi. Banyak diantara kita yang sebenernya udah pengen 'berbuat' untuk memisahkan sampah, antara sampah organik dan anorganik. Tapi setelah niat itu bulat, eh, kepentok lagi masalah yang klasik. Sistem tidak mendukung, dengan kata lain pihak yang berwenang mengurus sampah tidak memisahkan mereka. Kalaupun ada beberapa pemukiman yang Tempat Pembuatan Sampahnya (TPS) dipisah, berapa persen jumlahnya. Pemerintah belum bisa diandalkan untuk mengurus sistem yang berkelanjutan, bla bla bla..
Berhenti mengeluh kepada pemerintah yang mengurus sistem.
Mari kita inisiasi dari yang terkecil, yang bisa kita lakukan tanpa bergantung pada orang lain. Untuk urusan sampah ini, banyak sekali yang bisa kita lakukan tanpa menunggu orang lain bertindak.
Sampah organik.
Sampah ini tampaknya ada sejak adanya peradaban. Semua orang perlu makan, dan tidak semua yang bisa dimakan akan habis. Makan daun, tangkai jadi sampah. Makan buah, kulit dan biji jadi sampah. Hal yang paling gampang kita lakukan adalah, mengurangi sampah dengan menghabiskan makanan.
Sulitkah? Sepertinya tidak, tapi masih banyak orang yang tidak menghabiskan makanannya dan menolerir banyak sekali alasan untuk tidak menghabiskan makanan. Jadi solusinya, kurangilah alasan untuk tidak menghabiskan makanan, dan carilah solusinya.
Yang sering aku lihat adalah masalah porsi makanan. Misalnya, kalau tahu makannya dikit, ambil secukupnya. Kalau makan di restoran, minta nasinya setengah porsi, atau minta piring kosong untuk menaruh nasi yang tidak termakan. Tentunya dipisahinnya sebelum makan, jangan udah selesai makan baru dipisah. Yang penting masih layak untuk dimakan orang lain. Terus bilang sama mas-mas atau mbak-mbak yang melayani bahwa nasi itu masih layak untuk dimakan. Seenggaknya kalau ada peraturan restoran itu tidak bisa diberikan oleh tamu lain, masih bisa dimakan oleh pekerjanya.
Oke.. Resolusi tahun ini bertambah.
Mengambil makanan secukupnya? Cek!
Menghabiskan makanan? Cek!
Yang berikutnya, sampah organik dikompos. Ingat apa yang dilakukan orang-orang dulu terhadap sampah organik? Mereka menyisakan sedikit lahannya di halaman, dikeruk supaya bisa menjadi tempat sampah. Sampah organik dimasukkan ke sana hingga penuh, nanti ditutup dengan tanah dari lahan di sebelahnya yang menjadi calon 'tempat sampah' baru.
Ngga punya lahan untuk dikeruk dan dijadikan tempat sampah? Pakailah keranjang takakura! Cerita lengkapnya udah pernah aku tulis di sini. Cara ini sangat mengurangi timbulan sampah yang keluar dari rumah kita, sistem terkecil yang masih bisa kita kontrol.
Kurangi timbulan sampah organik di rumah? Cek!
Sampah anorganik.
Untuk sampah-sampah yang masih bisa dipakai lagi, semua dipisahin dari awal. Minimal kemasan dari plastik dan kaca. Kalau ada tempat khusus di dekat tempat sampah untuk menaruh barang-barang tersebut, dari awal botol-botol tersebut 'bersih' dari sampah. Nanti sampah botol itu bisa kita letakkan di luar, pemulung juga tidak perlu mengacak-acak tempat sampah kita.
Untuk sampah yang tidak aman seperti plastik dan styrofoam, hindari sebisa mungkin. Minuman botol, mie instan dalam styrofoam. Yang paling gampang ya membiasakan diri untuk bawa bekal minum dari rumah. Jadi di jalan kita tidak 'terpaksa' beli minuman kemasan. Untuk makanan, sama dengan minum. Bawa bekal dari rumah. Apalagi bekal dari rumah itu lebih sehat dan terjamin kualitas makanannya. Kalo repot? Ngga usah bawa makanannya, bawa tempatnya aja. Biar ngga susah jangan lupa simpen piring atau tempat bekal di kantor, jadi kalau mau beli makanan ngga perlu pake kemasan.
Mengurangi sampah kertas dan plastik pembungkus. Cek!
Untuk hal yang sederhana ini, kadang kita bertemu dengan sifat manusia yang ngga pernah puas, dan ngga mau repot. "Mau makan aja repot, mau minum aja susah." Memang sederhana, tapi terkadang tidak mudah.
Kalau pengen sesuatu yang instan untuk membuat bumi ini lebih baik, ngga beres-beres karena kebanyakan mikir ini itu :p Betul ngga? Mengubah mind set itu tidak bisa cepat, perlu diingatkan berulang-ulang sampai kesadaran itu nempel permanen di otak. Biar ngga keburu pusing duluan, kita niatkan 'yang penting sampah dikurangi' dulu. Kalau kebiasaan ini sudah 'nempel', nanti dengan sendirinya akan menjadi sebuah pola pikir yang baru.
Kebiasaan-kebiasaan di atas mungkin hanya sedikit sekali dari banyak kebiasaan yang bisa kita lakukan untuk bersahabat dengan bumi. Tapi bayangkan kalau kebiasaan tersebut dilakukan masal berjuta-juta orang. Jadi biar kebiasaan ini jadi kebiasaan banyak orang, mari kita saling mengingatkan :p
"Percumakah?"
Sering banget aku mendengar 'keluhan' seperti tadi. Banyak diantara kita yang sebenernya udah pengen 'berbuat' untuk memisahkan sampah, antara sampah organik dan anorganik. Tapi setelah niat itu bulat, eh, kepentok lagi masalah yang klasik. Sistem tidak mendukung, dengan kata lain pihak yang berwenang mengurus sampah tidak memisahkan mereka. Kalaupun ada beberapa pemukiman yang Tempat Pembuatan Sampahnya (TPS) dipisah, berapa persen jumlahnya. Pemerintah belum bisa diandalkan untuk mengurus sistem yang berkelanjutan, bla bla bla..
Berhenti mengeluh kepada pemerintah yang mengurus sistem.
Mari kita inisiasi dari yang terkecil, yang bisa kita lakukan tanpa bergantung pada orang lain. Untuk urusan sampah ini, banyak sekali yang bisa kita lakukan tanpa menunggu orang lain bertindak.
Sampah organik.
Sampah ini tampaknya ada sejak adanya peradaban. Semua orang perlu makan, dan tidak semua yang bisa dimakan akan habis. Makan daun, tangkai jadi sampah. Makan buah, kulit dan biji jadi sampah. Hal yang paling gampang kita lakukan adalah, mengurangi sampah dengan menghabiskan makanan.
Sulitkah? Sepertinya tidak, tapi masih banyak orang yang tidak menghabiskan makanannya dan menolerir banyak sekali alasan untuk tidak menghabiskan makanan. Jadi solusinya, kurangilah alasan untuk tidak menghabiskan makanan, dan carilah solusinya.
Yang sering aku lihat adalah masalah porsi makanan. Misalnya, kalau tahu makannya dikit, ambil secukupnya. Kalau makan di restoran, minta nasinya setengah porsi, atau minta piring kosong untuk menaruh nasi yang tidak termakan. Tentunya dipisahinnya sebelum makan, jangan udah selesai makan baru dipisah. Yang penting masih layak untuk dimakan orang lain. Terus bilang sama mas-mas atau mbak-mbak yang melayani bahwa nasi itu masih layak untuk dimakan. Seenggaknya kalau ada peraturan restoran itu tidak bisa diberikan oleh tamu lain, masih bisa dimakan oleh pekerjanya.
Oke.. Resolusi tahun ini bertambah.
Mengambil makanan secukupnya? Cek!
Menghabiskan makanan? Cek!
Yang berikutnya, sampah organik dikompos. Ingat apa yang dilakukan orang-orang dulu terhadap sampah organik? Mereka menyisakan sedikit lahannya di halaman, dikeruk supaya bisa menjadi tempat sampah. Sampah organik dimasukkan ke sana hingga penuh, nanti ditutup dengan tanah dari lahan di sebelahnya yang menjadi calon 'tempat sampah' baru.
Ngga punya lahan untuk dikeruk dan dijadikan tempat sampah? Pakailah keranjang takakura! Cerita lengkapnya udah pernah aku tulis di sini. Cara ini sangat mengurangi timbulan sampah yang keluar dari rumah kita, sistem terkecil yang masih bisa kita kontrol.
Kurangi timbulan sampah organik di rumah? Cek!
Sampah anorganik.
Untuk sampah-sampah yang masih bisa dipakai lagi, semua dipisahin dari awal. Minimal kemasan dari plastik dan kaca. Kalau ada tempat khusus di dekat tempat sampah untuk menaruh barang-barang tersebut, dari awal botol-botol tersebut 'bersih' dari sampah. Nanti sampah botol itu bisa kita letakkan di luar, pemulung juga tidak perlu mengacak-acak tempat sampah kita.
Untuk sampah yang tidak aman seperti plastik dan styrofoam, hindari sebisa mungkin. Minuman botol, mie instan dalam styrofoam. Yang paling gampang ya membiasakan diri untuk bawa bekal minum dari rumah. Jadi di jalan kita tidak 'terpaksa' beli minuman kemasan. Untuk makanan, sama dengan minum. Bawa bekal dari rumah. Apalagi bekal dari rumah itu lebih sehat dan terjamin kualitas makanannya. Kalo repot? Ngga usah bawa makanannya, bawa tempatnya aja. Biar ngga susah jangan lupa simpen piring atau tempat bekal di kantor, jadi kalau mau beli makanan ngga perlu pake kemasan.
Mengurangi sampah kertas dan plastik pembungkus. Cek!
Untuk hal yang sederhana ini, kadang kita bertemu dengan sifat manusia yang ngga pernah puas, dan ngga mau repot. "Mau makan aja repot, mau minum aja susah." Memang sederhana, tapi terkadang tidak mudah.
Kalau pengen sesuatu yang instan untuk membuat bumi ini lebih baik, ngga beres-beres karena kebanyakan mikir ini itu :p Betul ngga? Mengubah mind set itu tidak bisa cepat, perlu diingatkan berulang-ulang sampai kesadaran itu nempel permanen di otak. Biar ngga keburu pusing duluan, kita niatkan 'yang penting sampah dikurangi' dulu. Kalau kebiasaan ini sudah 'nempel', nanti dengan sendirinya akan menjadi sebuah pola pikir yang baru.
Kebiasaan-kebiasaan di atas mungkin hanya sedikit sekali dari banyak kebiasaan yang bisa kita lakukan untuk bersahabat dengan bumi. Tapi bayangkan kalau kebiasaan tersebut dilakukan masal berjuta-juta orang. Jadi biar kebiasaan ini jadi kebiasaan banyak orang, mari kita saling mengingatkan :p
1.03.2010
bersahabat dengan kertas.
Mendaur ulang satu ton kertas dapat menghemat 17 pohon berusia minimal 5 tahun yang dapat memberikan suplai oksigen untuk sekitar 8 orang selama 5 tahun.
Selain itu menghemat satu ton kertas sama dengan menghemat sekitar 400 liter minyak, sekitar 4000 KwH listrik, dan sekitar 30.000 liter air.
Jadi, biasakan untuk membuang kertas hanya bila tidak bisa terpakai lagi untuk keperluan lain. Sampah kertas ini bisa diberi ke pemulung/tukan loak untuk dikirim ke tempat daur ulang.
Untuk corat-coret, mengotret, atau mengeprint untuk preview sementara, gunakan kertas bekas. Gunakan kertas baru dengan bijak, hanya untuk keperluan penting. Bila memungkinkan, cetak kertas secara bolak-balik.
Sampah kertas yang ada bisa dikumpulkan dan dijilid untuk notes. Lebih keren lagi kalau dijilid dengan potongan majalah bekas.
Ayo, ngga susah kok menghemat kertas.. :)
Selain itu menghemat satu ton kertas sama dengan menghemat sekitar 400 liter minyak, sekitar 4000 KwH listrik, dan sekitar 30.000 liter air.
Jadi, biasakan untuk membuang kertas hanya bila tidak bisa terpakai lagi untuk keperluan lain. Sampah kertas ini bisa diberi ke pemulung/tukan loak untuk dikirim ke tempat daur ulang.
Untuk corat-coret, mengotret, atau mengeprint untuk preview sementara, gunakan kertas bekas. Gunakan kertas baru dengan bijak, hanya untuk keperluan penting. Bila memungkinkan, cetak kertas secara bolak-balik.
Sampah kertas yang ada bisa dikumpulkan dan dijilid untuk notes. Lebih keren lagi kalau dijilid dengan potongan majalah bekas.
Ayo, ngga susah kok menghemat kertas.. :)
kantong kresek.
Bukan shopping shopping ala tante tante yang nyari diskonan gitu, tapi blanja kebutuhan sehari-hari di rumah. Blanja di supermarket ato blanja di pasar, ada satu masalah yang sama, KANTONG KRESEK!!! hm...kenapa ya, penggunaan kantong kresek ini ngga bisa mulai dikurangi.
Pertama di supermarket. Ok, memang beberapa item harus dipisah. Masa' makanan disatuin sama detergen, ngga mungkin lah. Tapi kalo makanan yang terbungkus rapi, kaya biskuit dan teman-temannya itu disatuin sama sampo, sabun, kayanya masi ngga papa deh. Royal amat si ngasih plastik. Bukan masalah karena ngga usah bayar plastik, tapi betapa gampangnya kita menggunakan plastik kresek itu untuk sesuatu yang ngga penting-penting amat. Next, di pasar. tiap kita pindah dari satu tukang ke tukang yang lain, nambah satu kresek. Yah, kalo di pasar, banyak hal yang lebih bisa dimaafkan lah. Mungkin yaa... misalnya gini, Beli ayam, ngga mungkin kan kalo ngga diplastikin?!?!
Ada alasan-alasan yang ngga bisa kita hindari sehingga kita tetap pakai kantong plastik. Hal ini juga yang membuat aku sebenernya kurang sepakat dengan yang namanya kampanye ANTI PLASTIC BAG. Sori, kampanye yang terlalu utopis menurut aku tidak bekerja pada masyarakat kita. Menurutku lo ya.. Ngga perlu lah, sampe anti, toh aku rasa kita juga ngga mungkin idup tanpa bantuan si kantong kresek itu. Cuma mungkin penggunaan yang dikurangi dan lebih bijak. That's the point!!!! Cobalah, mulai dari hal-hal kecil, kebiasaan-kebiasaan yang terlihat sepele. Berapa banyak orang yang masih menyimpan kantong kresek yang masih bisa dipake, untuk dipake lagi? Berapa banyak orang yang akan menolak kasir kalo dirasa penggunaan kantong kresek itu ngga penting? Mudah-mudahan masih banyak ya..
Sayangnya, sistem persampahan di Indonesia tidak belum terintegrasi. Belum ada sistem pemilahan dan standar bagaimana masyarakat harus membuang sampah. Jadi jumlah timbulannya masih banyak, belum bisa tereduksi secara optimal. Jadi ya mau ngga mau kita 'terpaksa' menggunakan kantong kresek itu untuk membuang sampah harian. Kalau mau membantu mereduksi timbulan sampah (yang juga mengurangi kantong kresek untuk membuang sampah), kita bisa mengubur sampah dapur (sampah organik) di halaman seperti yang dilakukan orang-orang jaman dulu, atau bisa dengan metoda takakura. -Untuk yang terakhir nanti dibahas terpisah ya.. :)-
Ada satu solusi. Bawa tas belanjaan sendiri!!! Heehehhehe... Tapi, ya itu.. Pertama, kadang-kadang belanjanya mendadak, dan kebetulan tasnya lupa dibawa. Ya mo gimana lagi? Kedua, tasnya yang ngga mengakomodasi dengan baik kebutuhan kita. Seperti misalnya, bahannya yang cepet rusak, jaitannya yang ngga bener, kemasannya yang ngga 'handy' alias ngabisin tempat kalo dimasukin ke tas kita. Yah, gimana orang-orang mo pake tas 'ramah lingkungan' ini kalo banyak masalahnya?
Solusi lain? Bikin rajutan dari 'benang' kantong kresek. Hm.. aku udah pernah nyobain sih, tapi agak repot juga sih bikinnya. Perlu hakpen yang besar dan tenaga yang buanyak untuk bikin satu tas dari kresek ini. Lumayan pegel tangannya soalnya benang kresek ini ngga selentur benang biasa. Padahal kalau jadi kerajinan lumayan juga loh, karena satu tas bisa menggunakan sekitar 30-50 kantong kresek. Cuma ya harus telaten banget bikinnya. Padahal kalau dikembangkan, selain bisa mereduksi sampah kresek, bisa juga jadi lapangan pekerjaan untuk ibu-ibu 'pengangguran' hehehe..
Untungnya sekarang udah mulai banyak tas belanja lucu-lucu yang ngga nyusahin untuk dibawa ke mana-mana. Tinggal dilipet sampe kecil, dikancing, dan ada gantungannya. Jadi bisa sekalian jadi gantungan kunci :p Yang masih aku pengen, tas-tas belanja dengan bahan seperti yang banyak dipake di Jepang atau Korea. Bukan karena produk import jadi keren. Tapi karena bahannya bagus, lebih kuat, dengan motif yang lucu-lucu, desain tasnya juga keren. Jadi ngga cuma bisa dipake belanja aja, tapi bisa jadi tote bag gaya.
Saat ini hanya kurang dari 1% kantong plastik yang mampu didaur ulang dengan biaya yang sangat mahal. Daur ulang satu ton kantong plastik menghabiskan biaya sekitar 40 juta rupiah, sementara produksi satu ton plastik hanya menghabiskan sekitar 350 ribu rupiah.
Kalau kita bisa menghemat satu kantong plastik saja setiap hari, berarti kita menghemat 365 kantong plastik setahun. Kalau kita menggunakan kantong plastik selama 50 tahun, berarti kita menghemat sekitar 20.000 kantong plastik. Kalau 200 juta penduduk di Indonesia bisa melakukan penghematan ini, berarti kita bisa menghemat 4 trilyun kantung plastik :)
So, be wise with plastic bags :)
*repost dan diedit ulang dari blog multiply jadulku, 26 Maret 2008
Pertama di supermarket. Ok, memang beberapa item harus dipisah. Masa' makanan disatuin sama detergen, ngga mungkin lah. Tapi kalo makanan yang terbungkus rapi, kaya biskuit dan teman-temannya itu disatuin sama sampo, sabun, kayanya masi ngga papa deh. Royal amat si ngasih plastik. Bukan masalah karena ngga usah bayar plastik, tapi betapa gampangnya kita menggunakan plastik kresek itu untuk sesuatu yang ngga penting-penting amat. Next, di pasar. tiap kita pindah dari satu tukang ke tukang yang lain, nambah satu kresek. Yah, kalo di pasar, banyak hal yang lebih bisa dimaafkan lah. Mungkin yaa... misalnya gini, Beli ayam, ngga mungkin kan kalo ngga diplastikin?!?!
Ada alasan-alasan yang ngga bisa kita hindari sehingga kita tetap pakai kantong plastik. Hal ini juga yang membuat aku sebenernya kurang sepakat dengan yang namanya kampanye ANTI PLASTIC BAG. Sori, kampanye yang terlalu utopis menurut aku tidak bekerja pada masyarakat kita. Menurutku lo ya.. Ngga perlu lah, sampe anti, toh aku rasa kita juga ngga mungkin idup tanpa bantuan si kantong kresek itu. Cuma mungkin penggunaan yang dikurangi dan lebih bijak. That's the point!!!! Cobalah, mulai dari hal-hal kecil, kebiasaan-kebiasaan yang terlihat sepele. Berapa banyak orang yang masih menyimpan kantong kresek yang masih bisa dipake, untuk dipake lagi? Berapa banyak orang yang akan menolak kasir kalo dirasa penggunaan kantong kresek itu ngga penting? Mudah-mudahan masih banyak ya..
Sayangnya, sistem persampahan di Indonesia tidak belum terintegrasi. Belum ada sistem pemilahan dan standar bagaimana masyarakat harus membuang sampah. Jadi jumlah timbulannya masih banyak, belum bisa tereduksi secara optimal. Jadi ya mau ngga mau kita 'terpaksa' menggunakan kantong kresek itu untuk membuang sampah harian. Kalau mau membantu mereduksi timbulan sampah (yang juga mengurangi kantong kresek untuk membuang sampah), kita bisa mengubur sampah dapur (sampah organik) di halaman seperti yang dilakukan orang-orang jaman dulu, atau bisa dengan metoda takakura. -Untuk yang terakhir nanti dibahas terpisah ya.. :)-
Ada satu solusi. Bawa tas belanjaan sendiri!!! Heehehhehe... Tapi, ya itu.. Pertama, kadang-kadang belanjanya mendadak, dan kebetulan tasnya lupa dibawa. Ya mo gimana lagi? Kedua, tasnya yang ngga mengakomodasi dengan baik kebutuhan kita. Seperti misalnya, bahannya yang cepet rusak, jaitannya yang ngga bener, kemasannya yang ngga 'handy' alias ngabisin tempat kalo dimasukin ke tas kita. Yah, gimana orang-orang mo pake tas 'ramah lingkungan' ini kalo banyak masalahnya?
Solusi lain? Bikin rajutan dari 'benang' kantong kresek. Hm.. aku udah pernah nyobain sih, tapi agak repot juga sih bikinnya. Perlu hakpen yang besar dan tenaga yang buanyak untuk bikin satu tas dari kresek ini. Lumayan pegel tangannya soalnya benang kresek ini ngga selentur benang biasa. Padahal kalau jadi kerajinan lumayan juga loh, karena satu tas bisa menggunakan sekitar 30-50 kantong kresek. Cuma ya harus telaten banget bikinnya. Padahal kalau dikembangkan, selain bisa mereduksi sampah kresek, bisa juga jadi lapangan pekerjaan untuk ibu-ibu 'pengangguran' hehehe..
Untungnya sekarang udah mulai banyak tas belanja lucu-lucu yang ngga nyusahin untuk dibawa ke mana-mana. Tinggal dilipet sampe kecil, dikancing, dan ada gantungannya. Jadi bisa sekalian jadi gantungan kunci :p Yang masih aku pengen, tas-tas belanja dengan bahan seperti yang banyak dipake di Jepang atau Korea. Bukan karena produk import jadi keren. Tapi karena bahannya bagus, lebih kuat, dengan motif yang lucu-lucu, desain tasnya juga keren. Jadi ngga cuma bisa dipake belanja aja, tapi bisa jadi tote bag gaya.
Saat ini hanya kurang dari 1% kantong plastik yang mampu didaur ulang dengan biaya yang sangat mahal. Daur ulang satu ton kantong plastik menghabiskan biaya sekitar 40 juta rupiah, sementara produksi satu ton plastik hanya menghabiskan sekitar 350 ribu rupiah.
Kalau kita bisa menghemat satu kantong plastik saja setiap hari, berarti kita menghemat 365 kantong plastik setahun. Kalau kita menggunakan kantong plastik selama 50 tahun, berarti kita menghemat sekitar 20.000 kantong plastik. Kalau 200 juta penduduk di Indonesia bisa melakukan penghematan ini, berarti kita bisa menghemat 4 trilyun kantung plastik :)
So, be wise with plastic bags :)
*repost dan diedit ulang dari blog multiply jadulku, 26 Maret 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)