2.04.2010

popok dan lingkungan

[catatan Mbak Dan] Ketergantungan popok sekali pakai (disposable) semakin tinggi. Banyak alasannya, mulai dari alasan praktis hingga malas mencuci. Tapi tahukah bahwa popok sekali pakai ini ternyata meninggalkan jejak buruk pada lingkungan kita? Berhubung belum punya bayi dan punya teman baik yang senang berbagi mengenai penggunaan popok sekali pakai, dan nanti akan berbagi juga tentang detergen ramah lingkungan, saya bawa Rika Winurdiastri ke 'rumah sahabat bumi' untuk berbagi. Terima kasih banyak Rika.

...

Perdebatan tentang kontribusi lingkungan dari popok kain dan pospak memang ada. Kalangan pro pospak mengatakan bahwa menggunakan popok kain memiliki konsekuensi penggunaan air yang ekstra, penggunaan deterjen yang mencemari air tanah, dsb. Kalangan pro popok kain mengatakan penggunaan pospak berarti menambah limbah padat yang cukup signifikan terhadap TPA, dan kandungan tinja berbahaya apabila masuk ke dalam air tanah.

Menurut pendapat saya, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan deterjen dan air untuk mencuci popok kain, karena tanpa popok kain pun, kita sudah menggunakan air. Anggap saja popok itu adalah pakaian dalam bayi (karena toh bayi hanya menggunakan popok kan? Tidak pakai ‘pakaian dalam’), sama dengan orang dewasa yang sehari hari menggunakan pakaian dalam. Penggunaan air ekstra adalah konsekuensi alami dari manusia ‘ekstra’ yang datang ke bumi.

Tanpa kelahiran bayi pun, kita bisa jadi memang sudah menggunakan deterjen tidak ramah lingkungan. Jadi jika ada pencemaran deterjen di badan air dan air tanah, itu adalah kesalahan orang dewasa yang tidak mau mempertimbangkan deterjen yang ramah lingkungan. Selain itu, walaupun air semakin menipis, air adalah tetap sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Lagipula mari kita pikir, apakah volume air untuk mencuci popok sebegitu signifikan-nya? Adapun pospak? Tetap saja butuh waktu 500 tahun untuk menguraikannya.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Pup bayi (feses manusia), itu seharusnya masuk ke saluran khusus yang dibawa dari WC ke instalasi pengolah air buangan, tidak boleh masuk ke TPA. Apabila kita cermati kemasan pospak, maka di dalamnya ada instruksi untuk membuang pup bayi terlebih dahulu ke WC, sebelum membuang popok tersebut. Apakah para orangtua melakukannya? Saya tidak mau berprasangka buruk, tapi sejujurnya, saya tidak yakin, karena saya sendiripun cenderung malas repot apabila mengenakan bayi saya pospak. Dengan popok kain, mau tidak mau, kita harus membuang pup terlebih dahulu ke WC, sehingga kecenderungan untuk terjadi pencemaran tinja justru lebih dapat dikurangi.

Harap diingat bahwa setiap kegiatan manusia pasti menimbulkan dampak lingkungan. Apalagi selama kita menggunakan energi (listrik, bensin, dll), maka mau tidak mau kita berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Jejak ‘dosa’ kita terhadap alam ini yang disebut jejak ekologis. Selama ‘kerusakan’ yang kita buat masih dapat diimbangi dengan kemampuan alami lingkungan untuk memulihkan diri, maka itu masih wajar wajar saja. Mengenai kontribusi kerusakan lingkungan popok kain dan pospak, ada baiknya kita melihat dari sisi: mana yang lebih banyak jejak ekologisnya? Dan menurut beberapa sumber (sebagai contoh dari http://www.dummies.com/how-to/content/diapers-cloth-versus-disposable.seriesId-92323.htm l#glossary-carbon_footprint;_ecological_footprint), jejak ekologis pospak adalah 2 kali lipat dibanding popok kain.

Ok, mari kita mencari sebuah sumber yang lebih netral. Dari sumber http://www.thedailygreen.com, Dr. Alan Greene (chief medical officer of A.D.A.M., chair of The Organic Center, a member of the advisory board of Healthy Child Healthy World and clinical professor of pediatrics at Stanford University’s Packard Children’s Hospital) mengamati sebuah studi dilakukan oleh Badan Lingkungan di England dan Wales. Kelompok peneliti membandingkan pospak, popok kain yang dicuci di rumah, dan popok kain yang dicuci di tempat mencuci komersial dalam hal kontribusi terhadap pemanasan global, penipisan ozon, pembentukan SMOG, dan penipisan sumberdaya alam yang tidak bisa diperbarui, pencemaran air, asidifikasi, toksisitas, dan polusi tanah.

Studi ini tidak merekomendasikan pilihan apapun karena menurut para peneliti ini, semua menimbulkan dampak lingkungan. Walaupun menurut Dr. Alan Greene, seorang dokter anak, studi ini kurang lengkap karena di dalamnya. Mengapa? Studi tersebut tidak memperhatikan proses sangat awal dari produksinya, misalnya darimana asal pelapis plastik pospak, penebangan pohon, hingga penanaman kapas. Akan ada perbedaan yang besar antara kapas yang tumbuh dengan kontribusi zat kimia toksik dan kapas organik, antara hutan yang berkelanjutan dengan hutan yang asal dibabat.

Oke, kita anggap saja hasil penelitian badan lingkungan di Inggris akurat. Menurut badan lingkungan ini, yang penting adalah tindakan selanjutnya yang dapat mengurangi dampak popok. Misalnya bagi pemakai popok kain, mereka harus melakukan efisiensi energi dan hemat air (mudah bukan?). Jika memilih pospak, maka pilihlah produk dari produsen yang peduli lingkungan (green manufacture), yang biodegradable dan yang biasanya juga tidak mengandung klorin (lihat pembahasan mengenai popok dan kesehatan yang nanti akan saya posting, red). The big question is… apakah pospak yang umum dijual di Indonesia itu bebas klorin dan biodegradable (dapat terurai)?

Memang rasanya kurang adil jika mengeneralisir. Namun saya pernah melihat pospak impor dan mengklaim produknya ramah lingkungan, harganya.. hmmm.. kruk kruk kruk…[Rika Winurdiastri]

*dari rumahpopok.com

No comments: